Minggu, 22 Mei 2011

PENDEDKATAN TRADISIONAL METODOLOGI STUDI ISLAM

PENDEDKATAN TRADISIONAL METODOLOGI STUDI ISLAM

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah Metodologi Studi Islam

Dosen Pengampu: Taufiqurrahman Kurniawan,




Disusun Oleh:
Moh. A'id Fadlli 209 133


BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam wacana studi agama kontemporer, fenomena keberagaman manusia dapat dilihat dari berbagai sudut pendekatan. Ia tidak hanya lagi dapat dilihat dari sudut dan semata-mata terkait dengan normativisme ajaran wahyu, meskipun fenomena ini sampai kapan pun adalah ciri khas daripada agama-agama yang ada, tetapi ia juga dapat dilihat dari sudut yang terkit erat dengan historisitas pemahaman dan interprestasi orang-perorang atau kelompok-perkelompok terhadap norma-norma ajaran agama yang dipeluknya, serta model-model amalan dan praktek-praktek ajaran agama yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari.
Timbulnya sikap keberagaman yang demikian juga bisa dilacak penyebabnya dari cara umat tersebut keliru dalam memahami Islam. Islam yang muatan ajarannya banyak berkaitan dengan masalah-masalah sosial sebagaimana tersebut belum dapat diangkat ke permukaan disebabkan metode dan pendekatan yang kurang komprehensif. Dari segi alat yang digunakan untuk memahami Islam, misalnya kita melihat cara yang bermacam-macam antara satu dan yang lainnya tidak saling berjumpa. Mukti Ali misalnya mengatakan, jika kita mempelajari cara orang mendekati dan memahami Islam maaka tampak 3 cara yang jelas. Tiga pendekatan adalah naqli (tradisional), pendekatan secara aqli (rasional), dan pendekatan kasyf (mistis). Dan dalam makalah ini akan dijelaskan beberapa pendekatan yang bersifat tradisional.

B.Permasalahan
1.Pengertian Pendekatan
2.Bagaimana Pemikiran Tradisionalis
3.Pendekatan Teologi Normatif
4.Pendekatan kebudayaan

BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Pendekatan
Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini Jamaluddin Rakhmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma realitas agama yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Oleh karena itu, tidak ada persoalaan apakah penelitian agama itu, penelitian ilmu sosial, penelitian legalisti, atau penelitian filosofis.
Berbagai pendekatan manusia dalam memahami agama dapat melalui pendekatan paradigma ini. Dengan pendekatan ini semua orang dapat sampai pada agama. Di sini dapat dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normalis, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupannya. Oleh karena itu, agama hanya merupakan hidayah Allah dan merupakan suatu kewajiban manusia sebagai fitrah yang diberikan Allah kepadanya.1

B.Pemikiran Tradisionalis
Pemikiran tradisionalis percaya bahwa kemunduran umat Islam adalah ketentuan dan rencana Tuhan. Hanya Tuhan yang Maha Tahu tentng arti dan hikmah di balik kemunduran dan keterbelakangan umat Islam. Makhluk, termasuk umat Islam, tidak tahu tentang gambaran besar scenario Tuhan, dari perjalanan panjang umat manusia. Kemunduran dan keterbelakangan umat Islam dinilai sebagai “ujian” atas keimanan, dan kita tidak tahu malapetaka apa yang akan terjadi di balik kemajuan dan pertumbuhan umat manusia (Mansour Fakih dalam Ulumul Qur’an, 1997: 11).
Akar teologis pemikiran tradisionalis bersandar pada aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, terutama aliran ‘Asy’ariah, yang juga merujuk kepada aliran Jabariyah mengenai predeterminisme (takdir), yakni bahwa manusia harus menerima ketentuan dan rencana Tuhan yang telah dibentuk sebelumnya. Faham jabariyah yang dilanjutkan oleh aliran Asy’ariah ii, menjelaskan bahwa manusia tidak memiliki free will untuk mencitakan sejarah mereka sendiri. Meskipun manusia didorong untuk berusha, akhirnya Tuhan jualah yang menentukan.2

C.Pendekatan Teologi Normatif
Menurut M. Amin Abdullah teologi pasti mengacu kepada agama tertentu. Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan empiris dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar. Menurut pengamatan Sayyed Hosein Nasr, dalam era komtemporer ada 4 prototipe pemikiran keagamaan Islam yaitu pemikiran keagamaan fundalisme, modernis, mislanis, dan tradisionalis. Salah satu ciri teolog masa kini adalah sifat kritisnya. Sikap kritis ini ditujukan pertama-tama pada agamanya sendiri (agama sebagai institusi sosial dan kemudian juga kepada situasi yang dihadapinya). Penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam teologi merupakan fenomena baru dalam teologi.
Pendekatan teologis normatif semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat ini. Kemudian muncul terobosan baru untuk melihat pemikiran teologi masa kritis yang termanifestasikan dalam budaya tertentu secara lebih objektif lewat pengamatan empiris faktual. Menurut Ira M. Lapindus istilah teologi masa kritis yaitu suatu usaha manusia untuk memahami penghayatan imannya atau penghayatan agamanya.
Dalam pendekatan teologis memahami agama adalah pendekatan yang menekankan bentuk formal simbol-simbol keagamaan, mengklaim sebagai agama yang paling benar, yang lainnya salah sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, kafir, sesat, dan murtad. Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris dari keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.
Pendekatan Teologis Normatif oleh Charles J. Adams diklasifikasi menjadi beberapa bagian, yaitu:
1.Pendekatan Missionaris Tradisional
Pada abad 19, terjadi gerakan misionaris besar-besaran yang dilakukan oleh gereja-gereja, aliran, dan sekte dalam Kristen. Gerakan ini menyertai dan sejalan dengan pertumbuhan kehidupan politik, ekonomi, dan militer di Eropa yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di Asia dan Afrika. Sebagai konsekuensi logis dari gerakan itu, banyak misionaris dari kalangan Kristen yang pergi ke Asia dan Afrika mengikuti kolonial (penjajah) untuk merubah suatu komunitas masyarakat agar masuk agama Kristen serta meyakinkan masyarakat akan pentingnya peradaban Barat.
Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, para missionaris berusaha dengan sungguh untuk membangun dan menciptakan pola hubungan yang erat dan cair dengan masyarakat setempat. Begitu juga dengan penjajah, mereka harus mempelajari bahasa daerah setempat dan bahkan tidak jarang mereka terlibat dalam aktivitas kegiatan masyarakat yang bersifat kultural. Dengan demikian, eksistensi dua kelompok itu, missionaris tradisional dan penjajah (yang sama-sama beragama Kristen) mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan keilmuan Islam.Dalam konteks itu karena adanya relasi yang kuat antara Islam dan missionaris Kristen, maka Charles J. Adams berpendapat bahwa studi Islam di Barat dapat dilakukan dengan memanfaatkan missionaris tradisional itu sebagai alat pendekatan yang efektif. Dan inilah yang kemudian disebut dengan pendekatan missionaris tradisional (traditional missionaris approach) dalam studi Islam.
2.Pendekatan Apologetik
Di antara ciri utama pemikiran Muslim pada abad kedua puluh satu adalah "keasyikannya" (preoccupation) dengan pendekatan apologetik dalam studi agama. Dorongan untuk menggunakan pendekatan apologetik dalam khazanah pemikiran keislaman semakin kuat. Di sebagian wilayah dunia Islam, seperti di India, cukup sulit ditemukan penulis yang tidak menggunakan pendekatan apologetik. Perkembangan pendekatan apologetik ini dapat dimaknai sebagai respon mentalitas umat Islam terhadap kondisi umat Islam secara umum ketika dihadapkan pada kenyataan modernitas. Selain itu, apologetik ini muncul didasari oleh kesadaran seorang yang ingin keluar dari kebobrokan internal dalam komunitasnya dan dari jerat penjajahan peradaban Barat.

D.Pendekatan Kebudayaan
konsep pendekatan kebudayaan dapat diartikan sebagai metodologi atau sudut dan cara pandang yang menggunakan kebudayaan sebagai kacamatanya. Di Indonesia, diantara para cendekiawan dan ilmuwan sosial, konsep kebudayaan dari Profesor Koentjaraningrat amatlah populer. Dalam konsep ini kebudayaan diartikan sebagai wujudnya, yaitu mencakup keseluruhan dari:
1.Gagasan
2.Kelakuan
3.Hasil-hasil kelakuan
Dengan menggunakan definisi ini maka seseorang pengamat atau peneliti akan melihat bahwa segala sesuatu yang ada dalam pikirannya, yang dilakukan dan yang dihasilkan oleh kelakuan oleh manusia adalah kebudayaan. Dengan demikian, maka kebudayaan adalah sasaran pengamatan atau penelitian; dan, bukannya pendekatan atau metodologi untuk pengamatan, penelitian atau kajian. Karena tidak mungkin untuk menggunakan keseluruhan gagasan, kelakuan, dan hasil kelakuan, sebagai sebuah sistem yang bulat dan menyeluruh untuk dapat digunakan sebagai kecamata untuk mengkaji kelakuan atau gagasan atau hasil kelakuan manusia. Ketidak mungkinan tersebut disebabkan karena:
1.Gagasan sebagai ide atau pengetahuan tidaklah sama hakekatnya dengan kelakuan dan hasil kelakuan. Pengetahuan tidak dapat diamati sedangkan kelakuan atau hasil kelakuan dapat diamati dan/atau dapat diraba.
2.Kelakuan dan hasil kelakuan adalah produk atau hasil pemikiran yang berasal dari pengetahuan manusia. Jadi hubungan antara gagasan atau pengetahuan dengan kelakuan dan hasil kelakuan adalah hubungan sebab akibat; dan karena itu gagasan atau pengetahuan tidaklah dapat digolongkan sebagai sebuah golongan yang sama yang namanya kebudayaan.
Kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat tersebut. Bila kebudayaan adalah sebuah pedoman bagi kehidupan maka kebudayaan tersebut akan harus berupa pengetahuan yang keyakinan bagi masyarakat yang mempunyainya. Dengan demikian, maka dalam definisi kebudayaan tidak tercakup kelakuan dan hasil kelakuan; karena, kelakuan dan hasil kelakuan adalah produk dari kebudayaan.
Sebagai pedoman hidup sebuah masyarakat, kebudayaan digunakan oleh warga masyarakat tersebut untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan hidupnya dan mendorong serta menghasilkan tindakan-tindakan untuk memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dalam lingkungan hidup tersebut untuk pemenuhan berbagai kebutuhan hidup mereka. Untuk dapat digunakan sebagai acuan bagi interpretasi dan pemahaman, maka kebudayaan berisikan sistem-sistem penggolongan atau pengkategorisasian yang digunakan untuk membuat penggolongan-penggolongan atau memilih-milih, menseleksi pilihan-pilihan dan menggabungkannya untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan demikian setiap kebudayaan berisikan konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode untuk memilih, menseleksi hasil-hasil pilihan dan mengabungkan pilihan-pilihan tersebut.

Sebagai sebuah pedoman bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan maka kebudayaan berisikan konsep-konsep, resep-resep, dan petunjuk-petunjuk untuk dapat digunakan bagi menghadapi dunia nyata supaya dapat hidup secara biologi, untuk dapat mengembangkan kehidupan bersama dan bagi kelangsungan masyarakatnya, dan pedoman moral, etika, dan estetika yang digunakan sebagai acuan bagi kegiatan mereka sehari-hari. Operasionalisasi dari kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat adalah melalui berbagai pranata-pranata yang ada dalam masyarakat tersebut. Pedoman moral, etika, dan estetika yang ada dalam setiap kebudayaan merupakan inti yang hakiki yang ada dalam setiap kebudayaan. Pedoman yang hakiki ini biasanya dinamakan sebagai nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya ini terdiri atas dua kategori, yaitu yang mendasar dan yang tidak dipengaruhi oleh kenyataan-kenyataan kehidupan sehari-hari dari para pendukung kebudayaan tersebut yang dinamakan sebagai Pandangan Hidup (World View) dan yang kedua, yang mempengaruhi dan dipengaruhi coraknya oleh kegiatan-kegiatan sehari-hari dari para pendukung kebudayaan tersebut yang dinamakan etos atau ethos.
Kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat, memungkinkan bagi para warga masyarakat tersebut untuk dapat saling berkomunikasi tanpa menghasilkan kesalahpahaman. Karena dengan menggunakan kebudayaan yang sama sebagai acuan untuk bertindak maka masing-masing pelaku yang berkomunikasi tersebut dapat meramalkan apa yang diinginkan oleh pelaku yang dihadapinya. Begitu juga dengan menggunakan simbol-simbol dan tanda-tanda yang secara bersama-sama mereka pahami maknanya maka mereka juga tidak akan saling salah paham. Pada tingkat perorangan atau individual, kebudayaan dari masyarakat tersebut menjadi pengetahuan kebudayaan dari para prilakunya. Secara individual atau perorangan maka pengetahuan kebudayaan dan dipunyai oleh para pelaku tersebut dapat berbeda-beda atau beranekaragam, tergantung pada pengalaman-pengalaman individual masing-masing dan pada kemampuan biologi atau sistem-sistem syarafnya dalam menyerap berbagai rangsangan dan masukan yang berasal dari kebudayaan masyarakatnya atau lingkungan hidupnya.
Kebudayaan sebagai pengetahuan mengenai dunia yang ada disekelilingnya dan pengalaman-pengalamannya dengan relatif mudah dapat berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan hidupnya, terutama dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan bagi kehidupannya yang sumber-sumber dayanya berada dalam lingkungan hidupnya tersebut. Tetapi sebagai sebuah keyakinan, yaitu nilai-nilai budayanya, terutama keyakinan mengenai kebenaran dari pedoman hidupnya tersebut, maka kebudayaan cenderung untuk tidak mudah berubah.3

BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
1.Pendekatan merupakan paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang digunakan daalam memahami agama.
2.Akar teologis pemikiran tradisionalis bersandar pada aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, terutama aliran ‘Asy’ariah, yang juga merujuk kepada aliran Jabariyah mengenai predeterminisme (takdir), yakni bahwa manusia harus menerima ketentuan dan rencana Tuhan yang telah dibentuk sebelumnya.
3.Pendekatan teologis normatif dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan empiris dari suatu keaagamaan dianggap sebagai yang paling benar.
4.pendekatan kebudayaan dapat diartikan sebagai metodologi atau sudut dan cara pandang yang menggunakan kebudayaan sebagai kacamatanya.
B.Saran
Demikian makalah yang dapat kami sajikan. Semoga pembahasan yang telah kami paparkan di atas dapat bermanfaat bari para pembaca. Apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kekeliruan atau kesalahan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kritik dan saran akan selalu saya nantikan guna perbaikan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Atang Abdul, dan Jaih Mubarok. 1999, Metodologi Studi Islam, Bandung: Rosda Rosda Karya.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. 5.
http://japung-net.blogspot.com/2011/01/bab-i-pendahuluan-latar-belakang-dalam.html.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar